
Ketika seorang muslim menutup sholatnya, melakukan salam, dia berkomitmen untuk menebar keselamatan, kesejahteraan juga kemaslahatan ke sebelah kanan (menengok ke kanan) juga ke sebelah kiri. Begitu penting komitmen ini disampaikan setiap kali menutup sholat, puncak peribadatan yang membedakan Islam atau kafir, jati diri seseorang. Seorang muslim yang paling malas, dimana hanya lima kali melakukan sholat wajib, dia berkomitmen sepuluh kali. Demikian halnya sehari menjaga bilangan rakaat sholatnya hingga 40 rekaat, yakni 5x sholat wajib, 5x sunah rowatib, sholat malam sejumlah dan sholat dhuha, berarti berkomitmen tidak kurang dari 28x.
Kebanyakan masyarakat berpikir, bahwa kesholehan seseorang, sangat tergantung kesungguhan seseorang dalam melakukan ibadah mahdhoh (hubungan langsung pada Allah) dari sana kita saksikan, seseorang yang berkecukupan harta melakukan haji berkali kali, bahkan umroh tiap tahun. Bagi yang kurang berkecukupan dalam harta, kesholehan ditempuh dengan totalitas dalam sholat, dzikir, dengan seakan menafikan kehidupan dunia, karena kehidupan dunia hanyalah permainan yang melenakan. Salahkah hal demikian, tentulah tidak, karena menilai kebenaran peribadahan seseorang mutlak hak Allah semata, hanya dari berbagai riwayat mungkin masih perlu disempurnakan.
Dalam sebuah riwayat yang popular, Rasul teladan kita menyampaikan bahwa tidak ada imbalan yang sepadan bagi haji mabrur selain surga, namun dalam kesempatan lain rasul juga bersabda bahwa seseorang yang menanggung anak yatim, akan berada disurga bersama beliau.
Juga dalam banyak ayat al Quran disampaikan akan pentingnya bersungguh-sungguh mengupayakan makanan bagi orang miskin, lebih jauh bagi yang kurang peduli diancam dengan predikat pendusta agama.
Presiden RI pertama Ir. Sukarno pernah menyampaikan bahwa klaim bahwa agama yang dianutnya yang paling benar (Indonesia mengakui Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Konghucu sebagai agama yang sah) sangat ditentukan oleh perangai pemeluknya.
Agus Salim Sitompul, mantan Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 1968-1969 menyampaikan (dalam disertasinya) bahwa nilai kebenaran sebuah agama dimata masyarakat awam adalah sejauh mana agama tersebut mampu menjawab, memberikan solusi bagi kebutuhan dasarnya, meskipun sebuah agama dianggap benar menurut pengetahuan modern, punya kitab suci, ada rosulnya, memiliki ajaran yang rasional dan aplikatif misalnya, (benar disisi Allah) namun jika tidak mampu membantu kebutuhan dasarnya, akan dianggap salah.
Dan sebaliknya, sebuah agama yang mungkin acakadut, namun mampu memberikan apa yang diminta sebagai kebutuhan dasar, membantu makan ketika kelaparan, membantu pengobatan ketika sakit, membantu perbaikan tempat
tinggalnya yang kumuh (lewat juru dakwahnya) akan lebih diterima. Kita lihat di masyarakat pinggiran, banyak masyarakat yang berpindah agama karena hal-hal yang demikian, oleh bantuan sembako, bea siswa pendidikan dan sejenisnya.
Kembali ke Islam, dimana kita semua dituntut sebagai juru dakwah, masing-masing kita dituntut untuk mampu membumikan ajaran Islam. Maksudnya, jangan sampai ajaran Islam hanya ada di awing-awang yang terlepas dari persoalan kehidupan nyata. Dari semua ibadah yang dilakukan, jangan hanya mendatangkan pahala bagi pelakunya, namun harus semaksimal mungkin menebarkan kemaslahatan sebagaimana doa kita ketika usai sholat itu.
Zakat, sedekah dan kurban, sebagai bagian dari ibadah sosial, semaksimal mungkin membawa kemaslahatan yang lebih merata dan bermakna, karena ajaran islam adalah rahmatan lil alamin juga kaafatan lin nas (untuk seluruh alam dan untuk seluruh manusia).
KSPPS Bismillah yang memiliki ijin operasional di Jawa Tengah senantiasa mendorong agar zakat, sedekah dan kurban lebih membawa kemaslahatan karena dihimpun dan direncanakan untuk distribusi yang lebih merata dan bermakna, aamiin.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.